Keutamaan tawassul
sebagai ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, telah banyak dipahami oleh
kaum muslimin, akan tetapi mayoritas mereka justru kurang memahami perbedaan
antara tawassul yang benar dan tawassul yang menyimpang dari
Islam. Sehingga banyak di antara mereka yang terjerumus melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aqidah tauhid, dengan mengatasnamakan perbuatan-perbuatan
tersebut sebagai tawassul yang dibenarkan.
Kenyataan
pahit ini semakin diperparah keburukannya dengan keberadaan para tokoh
penyokong bid’ah dan syirik, yang mempropagandakan perbuatan-perbuatan sesat
tersebut dengan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi
orang-orang yang mengamalkannya.
Bahkan,
mereka mengklaim bahwa tawassul syirik dengan memohon/ berdoa kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mereka anggap
shaleh adalah bukti pengagungan dan kecintaan yang benar kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh tersebut. Dan lebih daripada itu,
mereka menuduh orang-orang yang menyerukan untuk kembali kepada tawassul
yang benar sebagai orang-orang yang tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan orang-orang shaleh, serta merendahkan kedudukan mereka.
Inilah
sebabnya, mengapa pembahasan tentang tawassul sangat penting untuk
dikaji, mengingat keterkaitannya yang sangat erat dengan tauhid yang merupakan landasan utama agama Islam dan
ketidakpahaman mayoritas kaum muslimin tentang hakikat ibadah yang agung ini.
Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu mengungkapkan hal ini dalam kata pengantar buku beliau
“Kaifa Nafhamu At-Tawassul (Bagaimana Kita Memahami Tawassul)”, beliau
berkata, “Sesungguhnya pembahasan (tentang) tawassul sangat penting
(untuk disampaikan), (karena) mayoritas kaum muslimin tidak memahami masalah
ini dengan benar, disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap hakikat tawassul
yang diterangkan dalam al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam secara jelas dan gamblang.
Dalam buku
ini, aku jelaskan tentang tawassul yang disyariatkan dan tawassul yang dilarang (dalam Islam) dengan
meyertakan argumentasinya dari al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
shahih, agar seorang muslim (yang membaca buku ini) memiliki ilmu dan pengetahuan yang kokoh dalam apa yang diucapkan
dan diserukannya, sehingga tawassul (yang dikerjakan)nya sesuai dengan
syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan doa (yang diucapkan)nya dikabulkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala (insya Allah).
Dan juga
agar seorang muslim tidak terjerumus dalam perbuatan syirik yang bisa merusak amal kebaikannya karena
kebodohannya, sebagaimana keadaan sebagian dari kaum muslimin saat ini, semoga
Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada mereka.” (Kitab Kaifa Nafhamu
At-Tawassul, hal. 3).
Definisi tawassul
dan hakikatnya
Secara
bahasa, tawassul berarti menjadikan sarana untuk mencapai sesuatu dan
mendekatkan diri kepadanya (lihat kitab An-Nihayah fi Ghariibil Hadiitsi wal
Atsar, 5/402 dan Lisaanul ‘Arab, 11/724).
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Arti tawassul adalah
mengambil wasiilah (sarana) yang menyampaikan kepada tujuan. Asal
(makna)nya adalah keinginan (usaha) untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.” (Kutubu
wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin, 79/1).
Maka arti
“ber-tawassul kepada Allah” adalah melakukan suatu amalan (shaleh untuk
mendekatkan diri kepada-Nya (lihat kitab Lisaanul ‘Arab, 11/724).
Imam Ibnu
Katsir ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/
sarana untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maaidah: 35).
Beliau
berkata, “Wasiilah adalah sesuatu yang dijadikan (sebagai sarana) untuk
mencapai tujuan.” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).
Inilah hakikat
makna tawassul, oleh karena itu Imam Qotadah al-Bashri (beliau adalah
Qatadah bin Di’aamah as-Saduusi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam
besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam [lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409]) menafsirkan
ayat di atas dengan ucapannya, “Artinya: dekatkanlah dirimu kepada Allah dengan
mentaati-Nya dan mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.” (Dinukil oleh Imam
Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).
Imam
ar-Raagib al-Ashfahani ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata,
“Hakikat tawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
memperhatikan (menjaga) jalan (agama)-Nya dengan memahami (mempelajari
agama-Nya) dan (mengamalkan) ibadah (kepada-Nya) serta selalu mengutamakan
(hukum-hukum) syariat-Nya yang mulia.” (Kitab Mufraadaatu Ghariibil Quran,
hal. 524).
Bahkan,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa makna tawassul inilah yang dikenal dan digunakan
oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman
mereka (lihat kitab Qaa’idatun Jaliilah fit Tawassul wal Wasiilah, hal.
4).
-Bersambung insya Allah-
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/aqidah/tawassul-ibadah-agung-yang-banyak-diselewengkan-1.html
No comments:
Post a Comment