A.
Pengertian Akhlak
Akhlak adalah sebagai budi pekerti
atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) di artikan sebagai tabiat,
perangai, kebiasaan, bahkan agama. Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa
Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata
akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak
dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al
Qalam ayat 4:
"Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim", yang artinya:
Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.
Sedangkan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innama bu'itstu liutammima makarima al akhlagi, yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad).
“Seorang Mu’min yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya (akhlaknya)” HR. Turmudzi
Perjalanan keilmuan selanjutnya kemudian mengenal istilah-istilah adab (tatakrama), etika, moral, karakter disamping kata akhlak itu sendiri, dan masing-masing mempunyai definisi yang berbeda.
Menurut Imam Gazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al khuluqu haiatun rasikhotun tashduru 'anha al afal bi suhulatin wa yusrin min ghoiri hqjatin act_ fikrin wa ruwiyyatin.
Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah 17.
Akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik buruk. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika.
B.
Akhlak Kepada Allah
1.
PENGERTIAN AKHLAK KEPADA ALLAH SWT
Akhlak kepada Allah dapat diartikan
sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Dan sebagai titik tolak akhlak kepada
Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia
memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia,
malaikat pun tidak akan mampu menjangkaunya (Quraish Shihab).
2. ALASAN BERAKHLAK KEPADA ALLAH SWT
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia
perlu beakhlak kepada Allah:
-Pertama, karena Allah-lah yang
mencipatakan manusia. Dia yang menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan
keluar dari tulang punggung dan tulang rusuk hal ini sebagai mana di firmankan
oleh Allah dalam surat at-Thariq ayat 5-7. sebagai berikut :
فلينظرالانسان مم خلق(٥) خلق من ماء دافق(٦) يخرج من بين الصلب والترائب(٧)
(الطار ق : 0-٧)
Artinya :
(5) "Maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apakah dia diciptakan?,
(6). Dia tercipta dari air yang terpancar,
(7). yang terpancar dari tulang sulbi dan tulang dada.
(at-Tariq:5-7)
-Kedua, karena Allah-lah yang telah memberikan
perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan
hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
Firman Allah dalam surat, an-Nahl ayat, 78.
والله اخرجكم من بطون امها تكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والا بصار والا فئدة لعلكم تشكرون ( النحل : ٧٨)
والله اخرجكم من بطون امها تكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والا بصار والا فئدة لعلكم تشكرون ( النحل : ٧٨)
Artinya:
"Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. ( Q.S an-Nahal : 78)
-Ketiga, karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya. Firman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 12-13.
-Ketiga, karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya. Firman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 12-13.
الله الذي سخرلكم البحر لتجري الفلك فيه بامره ولتبتغوا من فضله ولعلكم تشكرون (١٢)
و سخرلكم ما في السموات وما في الارض جميعا منه ان في ذلك لايت لقوم يتفكرون
(الجا ثية: ١٢-١٣)
Artinya:
(12) "Allah-lah yang menundukkan lautan untuk
kamu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu
dapat mencari sebagian dari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.
(13), "Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada
Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kamu yang berpikir.(Q.S al-Jatsiyah :12-13 ).
-Keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia
dengan diberikannya kemampuan, daratan dan lautan. Firman Allah dalam surat
Al-Israa' ayat, 70.
ولقد كرمنا بني ادم وحملنهم في البر والبحر ورزقنهم من طيبت وفضلنهم على كثيرممن خلقنا تفضيلا (الاسراء٧٠)
Artinya:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
cucu Adam, Kami angkut mereka dari daratan dan lautan, Kami beri mereka dari
rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S al-Israa : 70).
3 MACAM-MACAM AKHLAK KEPADA ALLAH SWT
DAN
PELAKSANAANNYA DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI
a. Cinta dan ridha kepada Allah SWT.
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa, dan
dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada yang
dicintainya dengan penuh semangat dan kasih saying. Bagi seorang mukmin sejati
cinta pertama dan utama adalah cinta kepada Allah swt. Allah lebih dicintai
dari segalanya.
Ridha adalah menerima dengan sepenuh hati tanpa
penolakan sedikitpun segala sesuatu yang dating dari Allah swt, baik berupa
perintah, larangan, ataupun petunjuk-petunjuk-Nya dengan senang hati.
Dengan cinta kita mendapatkan ridhaNya dan dengan
bersikap ridha terhadap apa yang Allah swt berikan/tentukan kita mengharapkan
cintaNya.
b. Berbaik sangka kepada Allah SWT.
c. Rela terhadap kadar dan qada (takdir baik dan buruk) dari Allah SWT.
d. Bersyukur atas nikmat Allah SWT.
e. Bertawakal/ berserah diri kepada Allah SWT.
b. Berbaik sangka kepada Allah SWT.
c. Rela terhadap kadar dan qada (takdir baik dan buruk) dari Allah SWT.
d. Bersyukur atas nikmat Allah SWT.
e. Bertawakal/ berserah diri kepada Allah SWT.
f. Senantiasa mengingat Allah SWT.
g. Memikirkan keindahan ciptaan Allah SWT.
h. Melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah
SWT.
i. Taubat kepada Allah swt
Salah
satu perilaku atau tindakan yang mendasari akhlak kepada Pencipta adalah
Taubat.Taubat secara bahasa berarti kembali pada kebenaran.Secara istilah
adalah meninggalkan sifat dan kelakuan yang tidak baik,salah atau dosa dengan
penuh penyesalan dan berniat serta berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan
yang serupa.Dengan kata lain,taubat mengandung arti kembali kepada
sikap,perbuatan atau pendirian yang baik dan benar serta menyesali perbuatan
dosa yang sudah terlanjur dikerjakan.
C. Akhlak
Kepada Rasul
Disamping akhlak
kepada Allah Swt, sebagai muslim kita juga harus berakhlak kepada Rasulullah
Saw, meskipun beliau sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya, namun
keimanan kita kepadanya membuat kita harus berakhlak baik kepadanya,
sebagaimana keimanan kita kepada Allah Swt membuat kita harus berakhlak baik
kepada-Nya. Meskipun demikian, akhlak baik kepada Rasul pada masa sekarang
tidak bisa kita wujudkan dalam bentuk lahiriyah atau jasmaniyah secara langsung
sebagaimana para sahabat telah melakukannya.
1. Ridha Dalam Beriman Kepada Rasul
Iman kepada Rasul
Saw merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan akan terasa menjadi
nikmat dan lezat manakala kita memiliki rasa ridha dalam keimanan sehingga
membuktikan konsekuensi iman merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan.
Karenanya membuktikan keimanan dengan amal yang shaleh merupakan bukan suatu
beban yang memberatkan, begitulah memang bila sudah ridha. Ridha dalam beriman
kepada Rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan sebagaimana hadits Nabi
Saw:
“Aku
ridha kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi
dan Rasul” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).
2. Mencintai dan Memuliakan Rasul
Keharusan yang
harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada Rasul adalah mencintai
beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt. Penegasan bahwa urutan
kecintaan kepada Rasul setelah kecintaan kepada Allah disebutkan dalam firman
Allah yang artinya:
“Katakanlah, jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dasn (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik .“
(QS 9:24).
Disamping itu,
manakala seseorang yang telah mengaku beriman tapi lebih mencintai yang lain
selain Allah dan Rasul-Nya, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakuinya sebagai
orang yang beriman, beliau bersabda:
“Tidak beriman seseorang diantara kamu
sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya
dan semua manusia.” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
3. Mengikuti dan Mentaati Rasul
Mengikuti dan
mentaati Rasul merupakan sesuatu yang bersifat mutlak bagi orang-orang yang
beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian penting dari akhlak
kepada Rasul, bahkan Allah Swt akan menempatkan orang yang mentaati Allah dan
Rasul ke dalam derajat yang tinggi dan mulia, hal ini terdapat dalam firman
Allah yang artinya:
“Dan barangsiapa
yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, orang-orang yang benar,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.” (QS 4:69).
Disamping itu,
manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw, Allah Swt akan mencintai
kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari Allah manakala
kita melakukan kesalahan, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah:
“jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu
dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 3:31)
Oleh karena itu,
dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati, Allah Swt
berfirman yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk
ditaati dengan izin Allah” (QS 4:64).
Manakala manusia
telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan mentaatinya, maka
ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah Swt. Dengan
demikian, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi mata
uang yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman yang
artinya: Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80).
4. Mengucapkan Shawalat dan Salam Kepada Rasul
Secara harfiyah,
shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a, istighfar dan rahmah.
Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti Allah memberi ampunan dan
rahmat kepada Nabi, inilah salah satu makna dari firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan Ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” (QS 33:56).
Adapun, bila kita
bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan bagi kita
sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasul Saw:
“Barangsiapa
bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan
bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Ahmad).
Manakala
seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak mengucapkan
shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai orang yang
paling utama kepadanya pada hari kiamat, beliau bersabda:
“Sesungguhnya
orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang
paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi).
Adapun orang yang
tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang kikir atau
bakhil, hal ini dinyatakan oleh Rasul Saw:
“Yang benar-benar
bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia tidak
mengucapkan shalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
5. Menghidupkan Sunnah Rasul
Kepada umatnya,
Rasulullah Saw tidak mewariskan harta yang banyak, tapi yang beliau wariskan
adalah Al-Qur’an dan sunnah, karena itu kaum muslimin yang berakhlak baik
kepadanya akan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits) agar
tidak sesat, beliau bersabda:
“Aku tinggalkan
kepadamu dua pusaka, kamu tidak akan tersesat selamanya bila berpegang teguh
kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku.” (HR. Hakim).
Selain itu, Rasul
Saw juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah dengan segala
bahayanya, beliau bersabda:
“Sesungguhnya,
siapa yang hidup sesudahku, akan terjadi banyak pertentangan. Oleh karena itu,.
Kamu semua agar berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para penggantiku.
Berpegang teguhlah kepada petunjuk-petunjuk tersebut dan waspadalah kamu kepada
sesuatu yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
Hakim, Baihaki dan Tirmidzi).
Dengan demikian, menghidupkan sunnah Rasul
menjadi sesuatu yang amat penting sehingga begitu ditekankan oleh Rasulullah
Saw.
6. Menghormati Pewaris Rasul
Berakhlak baik kepada Rasul Saw juga
berarti harus menghormati para pewarisnya, yakni para ulama yang konsisten
dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni yang takut kepada Allah
Swt dengan sebab ilmu yang dimilikinya.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah
diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS 35:28).
Kedudukan
ulama sebagai pewaris Nabi dinyatakan oleh Rasulullah Saw:
“Dan sesungguhnya
ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak tidak mewariskan uang dinar
atau dirham, sesungguhnya Nabi hanya mewariskan ilmui kepada mereka, maka
barangsiapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil mbagian yang
besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Karena ulama
disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak hanya
memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan
kepribadian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti
inilah yang harus kita hormati. Adapun orang yang dianggap ulama karena
pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka
orang seperti itu bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk
menghormatinya.
7. Melanjutkan Misi Rasul
Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan
menegakkan nilai-nilai Islam. Tugas yang mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum
muslimin, karena Rasul telah wafat dan Allah tidak akan mengutus lagi seorang
Rasul. Meskipun demikian, menyampaikan nilai-nilai harus dengan kehati-hatian
agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari Rasulullah
Saw. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini ditegaskan oleh Rasul Saw:
”Sampaikanlah dariku walau hanya satu
ayat, dan berceritalah tentang Bani Israil tidak ada larangan. Barangsiapa
berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat
duduknya di neraka.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Demikian beberapa hal yang harus kita
tunjukkan agar kita termasuk orang yang memiliki akhlak yang baik kepada Nabi
Muhammad Saw.
D. Akhlak terhadap orang tua
Orang tua adalah penyebab perwujudan kita. Kalaulah mereka itu tidak ada, kitapun tidak akan pernah ada. Kita tahu bahwa perwujudan itu disertai dengan kebaikan dan kenikmatan yang tak terhingga banyaknya., plus berbagi rizki yang kita peroleh dan kedudukan yang kita raih. Orang tua sering kali mengerahkan segenap jerih paya mereka untuk menghindarkan bahaya dari diri kita. Mereka bersedia kurang tidur agar kita bisa beristirahat. Mereka memberikan kesenangan-kesenangan kepada kita yang tidak bisa kita raih sendiri. Mereka memikul berbagai penderitaan dan mesti berkorban dalam bentuk yang sulit kita bayangkan.
Dengan demikian, menghardik kedua orang tua dan berbuat buruk kepada mereka tidak mungkin terjadi kecuali dari jiwa yang bengis dan kotor, berkurang dosa, dan tidak bisa diharap menjadi baik. Sebab, seandainya seseorang tahu bahwa kebaikan dan petunjuk allah mempunyai peranan yang sangat besar, tentunya siapa tahu pula bagaimana harus berbuat baik kepada orang yang semestinya diperlakukan dengan baik., bersikap mulia terhadap orang yang telah membimbing, berterima kasih kepada orang yang telah memberikan kenikmatan sebelum dia sendiri bisa mendapatkannya, dan yang telah melimpahinya dengan berbagai kebaikan yang tak mungkin bisa di balas. Orang tua adalah orang\orang yang bersedia berkorban demi anaknya, tanpa memperdulikan apa balasan yang akan diterimanya.
1. Kewajiban Kepada Ibu
Kalau ibu merawat jasmani dan rohaninya sejak kecil secara langsung, maka bapak pun merawatnya, mencari nafkahnya, membesarkannya, mendidiknya dan menyekolahkannya, disanping dusaha ibu. Kalau mulai menganduna sampai masa muhariq (masa dapat membedakan mana yang baik dan buruk), seorang ibu sangat berperan, maka setelah mulai memasuki masa belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidiknya dan mempertumbuhkannya menjadi dewasa, namun apabila dibandingkan antara berat tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung sampai dewasa dan sebagaimana perasaan ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara perbandingan, tidaklah keliru apabila dikatakan lebih berat tugas ibu dari pada tugas ayah.
Coba bandingkan,
banyak sekali yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya,
yang hanya seorang ibu saja yang dapat mengatasinya tetapi sebaliknya banyak
tugas ayah yang bisa dikerjakan oleh seorang ibu. Barangkali karena demikian
inilah maka penghargaan kepada ibunya. Walaupun bukan berarti ayahnya tidak
dimuliakan, melainkan hendaknya mendahulukan ibu daripada mendahulukan ayahnya
dalam cara memuliakan orang tua.
2. Berbuat Baik Kepada Ibu dan Ayah, Walaupun Keduanya lalim
Seorang anak menusut ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tua berbuat lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas, mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada anaknya, allah tidak meridhainya sehingga orang tua itu meridhainya.
Menurut ukuran secara umum, si orang tua tidak sampai akan aniaya kepada ananya. Kalaulah itu terjadi penaniayaan kepada orang tua kepada anaknya adalah disebakan perbuatan si anak itu sendiri yang menyebabkan marah dan aniayanya orang tua kepada anaknya. Didalam kasus demikian seandainya si orang tua marh kepada anaknya dan berbuat aniaya sehingga ia tiada ridha kepada anaknya, allah pun tidak meridhai si anak tersebut lantaran orang tua.
3. Berkata Halus Dan Mulia Kepada Ibu Dan Ayah
Segala sikap orang tua terutama ibu memberikan refleksi yang kuat terhadap sikap si anak. Dalam hal berkata pun demikian. Apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus kepada anaknya, si anak pun akan berkata halus. Kalau si ibu atau ayah sering mempergunakan kata-kata yang kasar, si anakpun akan mempergunakan kata-kata kasar, sesuai yang digunakan oleh ibu dan ayahnya. Sebab si anak mempunyai insting menir yang lebih mudah ditiru adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu orang tua, terutama ibunya. Agar anak berlaku lemah lembut dan sopan kepada orang tuanya, harus dididik dan diberi contoh sehari-hari oleh orang tuanya bagaimana sianak berbuat, bersikap, dan berbicara. Kewajiban anak kepada orang tuanya menurut ajaran islam harus berbicara sopan, lemah-lembut dan mempergunakan kata-kata mulia.
4. Berbuat Baik Kepada Ibu Dan Ayah Yang Sudah Meninggal Dunia
Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ibu dan ayahnya yang sudah tiada. Dalam hal ini menurut tuntunan ajaran islam sebagaimana yang disiarkan oleh rasulullah dari Abu usaid yang artinya:
”kami pernah
berada pada suatu majelis bersama nabi, seorang bertanya kepada rasulullah:
wahai rasulullah, apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya meninggal dunia
yang aku untuk berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku. “rasulullah
bersabda: ”ya, ada empat hal :mendoakan dan memintakan ampun untuk keduanya,
menempati / melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman kedua orang
tua, dan bersilaturrahim yang engkau tiada mendapatkan kasih sayang kecuali
karena kedua orang tua.”
Hadist ini menunjukkan cara kita berbuat baik kepada ibu dan ayah kita, apabila beliau-beliau itu sudah tiada yaitu:
• Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan meminta ampun kepada allah dari segala dosa orang tua
kita.
• Menepati janji kedua ibu bapak. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada seseorang,
maka anaknya
harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut. Umpamanya beliau akan naik
haj,
yang belum sampai
melaksanakannya. Maka kewajiban anaknya menunaikan haji orang tua tersebut.
• Memuliakan teman-teman kedua orang tua. Diwaktu hidupnya ibu atau ayah mempunyai teman
akrab, ibu atau
ayah saling tolong-menolong dengan temannya dalam bermasyarakat. Maka untuk
berbuat kebajikan
kepada kedua orang tua kita yang telah tiada, selain tersebut di atas, kita
harus
memuliakan teman
ayah dan ibu semasa ia masih hidup.
• Bersilalaturrahmi kepada orang yang kita mempunyai hubungan karena kedua orang tua. Maka
terhadap orang
yang dipertemukan oleh ayah atau ibu sewaktu masih hidup, maka hal itu termasuk
berbuat baik
kepada ibu dan bapak kita yang sudah meninggal dunia.
Tetapi bagaimana
jikalau kita ingin berbuat baik kepada ibu dan ayah serta patuh terhadapnya,
terkadang
perintah yang di berikannya tidak sesuai dengan ketentuan islam.
Adapun cara menghadapi perintah kedua orang tua yang
bertentanga dengan ajaran islam:
• Jika suatu saat kamu disuruh berbohong oleh ibu atau ayah, sebaiknya katakan kepada keduanya
bahwasanya allah
melihat kita.
• Jangan
sekali-kali membantah perintah orang tua dengan nada kesal dan ngotot, sebab
tidak akan
mambuahkan hasil.
Akan tetapi hadapi dengan tenang dan penuh keyakinan dan percaya diri.
• Ayah dan ibu itu manusia biasa yang tak luput dari kesalaha dan kekurangan. Jangan posisikan kedua
orang tua seperti
nabi yang tak pernah berbuat salah. Maafkan mereka, bila kita anggap cara dan
perintah orang
tua bertentangan dari hati nurani atau nilai-nilai yang kamu yakini
kebenarannya.
Akhlak Anak Terhadap Orang Tua
menurut Syekh Nawawi Al-Bantani
Agama Islam mengajarkan dan mewajibkan kita sebagai anak untuk berbakti dan taat kepada ibu-bapak. Taat dan berbakti kepada kedua orang tua adalah sikap dan perbuatan yang terpuji, cara berbakti dan sopan santun kepada orang tua ialah melaksanakan segala perintahnya dengan melakukan hal-hal sebagaimana Syeikh Nawawi sebutkan dalam kitab Maroqil ‘Ubudiyah bahwa akhlak anak terhadap orang tua adalah sebagai berikut:
Mematuhi perintahnya selama perintah itu bukan dalam mendurhakai Allah. Tidak berjalan didepan keduanya, tetapi disamping atau dibelakangnya. Jika ia berjalan didepannya karena sesuatu hal, maka tidaklah mengapa ketika itu. Menjawab panggilan mereka dengan jawaban yang lunak.
Berusahalah keras untuk mencari keridhaan kedua orang tua dengan perkataan dan perbuatan.
Bersikaplah rendah hati dan lemah lembut kepada kedua orang tua seperti melayani mereka, menyuapi makan dengannya bila keduanya tidak mampu dan mengutamakan keduanya diatas diri dan anak-anaknya. Janganlah bermuka cemberut kepada keduanya. Janganlah bepergian, kecuali dengan izin keduanya.
.
Selain dalam kitab Marokil ‘Ubudiyah Syeikh Nawawi juga menerangkan dalam kitab Tafsir al-Munir mengenai akhlak anak terhadap orang tua yang terdapat dalam surat al-isro’, ayat 23-25 bahwasannya Allah menegaskan agar kita sebagai manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya saja. Karena manusia diciptakan Allah sebagai hamba sehingga diperintahkan Allah untuk selalu beribadah kepadanya dimanapun dan kapanpun berada.
Selain dalam kitab Marokil ‘Ubudiyah Syeikh Nawawi juga menerangkan dalam kitab Tafsir al-Munir mengenai akhlak anak terhadap orang tua yang terdapat dalam surat al-isro’, ayat 23-25 bahwasannya Allah menegaskan agar kita sebagai manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya saja. Karena manusia diciptakan Allah sebagai hamba sehingga diperintahkan Allah untuk selalu beribadah kepadanya dimanapun dan kapanpun berada.
E. Akhlak terhadap Lingkungan
Yang
dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada
dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari
fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap
alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta
pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam
pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum
matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi
kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini
berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang
berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian
mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan,
bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus
dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
Binatang,
tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan
menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan
ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah
"umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."
Jangankan dalam masa damai, dalam saat
peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan.
Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang
pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin
Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi
kemaslahatan terbesar.
Apa saja yang kamu tebang dari pohon
(kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua
adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).
Bahwa semuanya adalah milik Allah,
mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam
genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus
dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi,
setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang
tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut
pemeliharaan dan pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi saw
tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi,
"Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat
(yang kamu peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa
dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk
memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut
apa yang berada di sekitar manusia.
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta
yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu
yang ditentukan (QS Al-Ahqaf [46]: 3).
Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh
manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau
bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi
kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau
berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak
dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani.
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran
adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat
kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Mahasuci
Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri
tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika
demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam.
Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.
Al-Quran
menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw yang membawa rahmat
untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan memberi nama semua
yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa.
"Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu
mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Nabi
Muhammad saw telah mengajarkan : "Bertakwalah kepada Allah dalam
perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan
baik."
Di
samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip
taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti
"perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam
Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah
“Janganlah
ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain.” (QS. Al-Hujurat ayat 11)
“Dan
Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit dan di bumi
semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ini
berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat
memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak
boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan
Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak
oleh benda-benda itu. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu
mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta
cara meraihnya diridhoi Allah SWT, sesuai dengan kaidah kebenaran dan keadilan.
Akhirnya
kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang
diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda : "Agama adalah hubungan interaksi
yang baik."
Beliau
juga bersabda: "Tidak ada
sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin
pada hari kiamat,
melebihi akhlak yang luhur. (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi).
F.
Akhlak kepada Sesama Muslim
Mengenai hubungan dengan sesama muslim, maka tidak
terlepas dengan tetangga, famili atau kerabat, teman, rekan kerja maupun
masyarakat muslim. Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada 6,
sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Abu Hurairah, yang artinya : “ Rosulullah bersabda: kewajiban
seorang terhadap muslim ada 6. Sahabat bertanya “ apakah itu, wahai Rasululloh?
Rasululloh bersabda : “ Apabila engkau berjumpa dengannya ; apabila ia
mengundang engkau, hendaklah engkau menepatinya; apabila ia meminta nasihat
kepada engkau engkau menasehatinya; apabila ia bersin kemudian ia mengucapkan
hamdallah hendaklah engkau ucapkan tasymith ( yarhamukallah / yarhamukillah );
apabila ia sakit hendaklah engkau menjenguknya; dan apabila ia meninggal dunia
hendaklah melayatnya dan mengantarkan kepemakamannya.
Dari arti
hadits diatas, dapat disimpulkan dengan jelas bahwa 6 kewajiban muslim kepada
muslim lainnya yaitu:
1) Mengucapkan salam ketika
berjumpa.
2) Memenuhi undangannya.
3) Menasehati jika diminta.
4) Mengucapkan Tasymith
jika ia bersin, lalu ia mengucapkan hamdallah.
5) Menjenguknya bila ia
sakit.
6) Melayat dan mengantarkan
jenazahnya sampai kepemakaman jika ia meninggal dunia.
Sesama muslim juga diwajibkan untuk saling tolong
menolong, yakni tolong menolong dalam hal kebaikan dan takwa kepada Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2:
“Dan bertolonglah kalian dalam ( mengerjakan ) kebajikan
dan taqwa, janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran /
permusuhan.”
Kewajiban tolong menolong bukan hanya dari segi moril,
melainkan juga dalam segi materi, yang bersifat kebutuhan pokok manusia yang
bersifat daruri ( yang tidak boleh tidak ) untuk menjaga kelestarian hidup
manusia.
Sesama muslim juga diwajibkan untuk saling menasehati
dalam hal kebenaran dan dengan kesabaran. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Q.S Al- Ashr ayat 1-3:
Demi masa, sesungguhnya manusia itu sungguh dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan nasehat
menasehati dengan kebenaran dan nasehat menasehati dengan kesabaran.
G.
Akhlak Kepada Non Muslim
Didalam al-Qur’an terdapat beberapa teks yang mendukung
sikap positif, netral, maupun negatif terhadap pemeluk agama lain.
1) Sikap Positif
Ada ayat Al-Qur’anyang menyiratkan bahwa ajaran agama
–agama pada dasarnya sama dan bahwa
kaum muslimin seharusnya tidak membeda-bedakan ajaran
para Rasul, yakni surat An-Nahl : 36 yang
artinya:
“ Sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat untuk menyerukan, “ sembahlah Allah dan jauhilah Taghut.”
Demikian pula surat Al-Baqarah : 285 yang artinya :
“..... kami tidak membeda-bedakan seorangpun dari
rasul-rasul Nya.”
Dinyatakan pula dalam surat Al-Hajj :
40 mengenai tempat-tempat ibadah dari agama-agama yang berbeda-beda, banyak
disebut nama Allah.
2) Sikap Netral
Pernyataan yang netral seperti pernyatan bahwa
masing-mansing akan berbuat sesuai dengan apa yang sesuai dengannya, bahwa masi
ng-masing mendapatkan balasan sesuai dengan agamanya dan bahwa bentuk lahiriah
agama rasul-rasul Alloh dapat berbeda-beda. Hal demikian dilukiskan dalam
firman-Nya:
Katakanlah, “ Tiap-tiap
orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka, Tuhanmu lebih mengetahui
siapa yang lebih benar jalannya. ( Surat Al-Isra’:48 )
Dan surat Al-Kafirun : 1-6 , yang juga mengajarkan
tentang prinsip toleransi-toleransi beragama.
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku. ( Surat
Al-Kafirun: 6 )
3) Sikap Negatif ( Bermusuhan )
Pernyataannya yang bersikap bermusuhan semisal ayat yang
menyatakan bahwa orang yahudi dan Nasrani tak akan puas sebelum Muhammad
mengikuti agama mereka . kemudian ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin
seharusnya memerangi orang-orang yang tidak beriman dan ahli kitab.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. ( surah Al-Baqarah )
Perangilah
orang-oreang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu
orang-orang yang diberi kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedangkan mereka dalam keadaan menunduk.
Akhlak kepada
muslim juga dapat dipraktekkan kepada non muslim, asalkan tidak dalam hal
peribadatan atau keagamaan. Dari berbagai penjelasan diatas jelaslah bahwa
agama islam melalui Al_-Qur’an mengajarkan prinsip-prinsip akhlak yang
menyeluruh, yang dipraktekkan didalam mewujudkan hubungan kerjasama diantara
anggota masyarakat manusia secara luas, baik hubungan dibidang materiil, jasa
atau yang laindengan pendekatan yang saling berkait, yang akan dapat memperkuat
ikatan satu sama lain, sehingga terciptalah satu kesatuan, meskipun suku ,
agama, warna kulit, atau bahkan banngsa yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
-Djatnika, Rachmat.1996.Sistem Etika Islam ( Akhlak Mulia ).jakarta :
Pustaka Panjimas.
-Charisma, Moh.Chazdiq.1991.Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an.Surabaya:Bina
Ilmu.
-Drs. H. Ambo Asse, M.Ag.
2003. Al-Akhlak al-Karimah Dar al-Hikmah wa al-Ulum.Makassar:
Berkah Utami.
-http://www.eramuslim.com/peradaban/pemikiran-islam/drs-h-ahmad-yani-ketua-lppd-khairu-ummah-akhlak-kepada-rasul.htm#.Ubz2Doag-d9
No comments:
Post a Comment